Cerpen Kado Untuk Nisa
Kado Untuk Nisa
Nisa seorang gadis yang berumur 7 tahun yang menggantikan
peran seorang Ibu dalam keluarganya. Nisa tinggal dengan Supri Ayahnya. Mereka
tinggal di daerah Malang. Di desa ini, sektor pertanian cukup dominan. Kentang
adalah salah satu yang menjadi komoditi utama penambah pemasukan bagi kota.
Namun sayang, kekayaan alam yang cukup melimpah ini bertolak belakang dengan
kehidupan para petaninya. Seperti Supri, meskipun ia bukan seorang pemilik
lahan atau petani ia juga merasakan kekurangan itu. Supri hanya menjadi seorang
buruh jasa pengangkut kentang.
Supri hanya bisa mengangkut 2 karung kentang, dengan sebuah
kayu yang ia letakkan di antara kedua pundaknya. Usia yang tak muda lagi,
membuat dia sering letih dan lemas. Supri tak setiap hari kerja, para pemilik
lahan mempertimbangkan tenaganya untuk dipakai. Supri sangat bersyukur jika ada
yang menyuruhnya untuk mengangkut kentang. Namun hasil yang didapatkannya pun
tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkannya. Supri hanya dibayar 1000
rupiah untuk setiap karung yang diangkatnya. Supri tak bisa berbuat apa-apa,
dia hanya bisa bersyukur dengan segala nikmat dan kesehatan yang ia terima saat
ini.
Setelah semua kentang telah dipanen, dan diangkut. Supri
meminta izin untuk mengambil sisa-sisa kentang yang berserakan. Meskipun
kentang-kentang itu sebagian sudah dalam keadaan busuk, namun Supri tak berani
untuk mengambilnya secara langsung. Baginya meskipun dia orang yang tidak
mampu, dia tidak boleh untuk mengambil apa yang menjadi hak orang lain. Itulah
yang dia katakan kepada anaknya Nisa. Setelah mendapat izin, Supri mengeluarkan
kantong kresek dari sakunya dan mulai mengambil beberapa kentang yang masih
bagus. Dan yang busuk sengaja ia tak mengambilnya. Kemudian Supri mengambil
pisau dan menghilangkan bagian yang busuk tadi.
Hari sudah menjelang siang, Supri segera pulang karena
kedatangannya sudah ditunggu Nisa. Di depan rumah, terdengar suara tangisan.
Segera Supri masuk dan mendapati anaknya sedang terduduk di sudut dapur dengan
membawa sebuah KTP. Tetesan air Nisa bercucuran membasahi pipinya. Dengan
membawa sebuah KTP, Nisa terus menangis. Yah.. itulah salah satu peninggalan
yang mengingatkan Nisa dengan seorang yang telah melahirkannya.
Sejak umur 8 bulan, Nisa sudah ditinggal Ibunya karena
serangan kanker paru-paru. Supri sudah hafal betul dengan kelakuan Nisa saat
merindukan Ibunya. Umur 8 bulan Nisa masih belum hafal wajah Ibunya. Supri
duduk di sebelahnya dan membiarkan anaknya menangis sampai hatinya tenang. Nisa
memeluk Ayahnya. Supri tak kuasa untuk menahan tangisannya, dia tahu apa yang
dirasakan anak tunggalnya itu. Merindukan sebuah kasih sayang dan belaian dari
seorang Ibu.
Setelah hatinya tenang, Nisa mengambil kentang, kemudian ia
mencucinya dan mulai membungkusnya untuk segera dijual. Setiap 1 kantong
plastik, Nisa mengisinya dengan 5 biji kentang. Setiap 1 plastik, ia jual
dengan harga 500 rupiah. Harga yang sangat murah namun tidak untuk Nisa.
Baginya harga 500 itu sudah wajar, karena keadaan kentang yang sedikit tak
baik. Dengan sebuah tas, Nisa mulai berjalan mengelilingi kampung, menjajakkan
barang dagangannya. Dulu Nisa malu untuk berjualan, karena banyak temannya yang
sering mengejek dia. Tapi rasa malu itu ia buang jauh-jauh. Dia berpikir,
kenapa harus malu untuk melakukan hal yang baik. Nisa sudah terbiasa dengan
orang yang tak mau membeli dagangannya. Nisa terus berjalan dan berjalan.
Hasil yang didapat hari ini lumayan, dari 10 kantong yang ia
bawa, 6 di antaranya laku terjual. Uang yang didapatkannya, ia gunakan unuk
membeli beras dan kentang yang tak laku, ia gunakan lagi untuk makan sendiri.
Siang hari, Nisa sudah datang ke rumah dan langsung memasaknya. Nisa bertugas
untuk mengolah kentang dan Supri bertugas menanak nasi. Mereka membagi tugas
agar mereka dapat cepat mengisi perut yang kosong sejak tadi pagi. Terkadang
tetangga di sekitar memberi bantuan, entah dalam bentuk bahan dapur atau juga
uang.
Keesokan harinya, Nisa berangkat sekolah. Sebelumnya, ia
pergi ke rumah tetangganya untuk mengambil barang dagangan. Yah… Nisa sekolah
sambil jualan. Dia berjualan jelly yang dihargai 500 rupiah. Sekolah pun
mengizinkan Nisa untuk berjualan namun hanya di luar jam pelajaran saja.
Berjualan berdampak pada prestasi Nisa di sekolah. Nilainya sering turun dan ia
tak mampu untuk mencerna beberapa mata pelajaran. Inilah resiko yang
ditanggungya. Tak ada satu pun perbuatan yang tidak menanggung resiko.
Saat istirahat Nisa duduk termenung melihat semua temannya
bermain. Ingin sekali rasanya untuk ikut bermain bersama. Tapi jika ia ikut
bermain, siapa yang menunggu dagangannya. Nisa tak bisa melewati masa kecilnya
yang biasa dilewati dengan bermain. Tuntutan hidup membuat masa kecilnya
terlewati begitu saja. Sedikit demi sedikit, teman-teman Nisa membeli jajan
yang berupa Jelly dengan diberi susu dan ditaburi dengan meses. Nisa meminta
kembali wadah jelly itu untuk dipakai kembali.
Pulang sekolah, Nisa menyetor hasil dagangannya kepada
tetangganya. Nisa tak melihat berapa uang yang dikasih tetangganya. Meskipun
sedikit dia bersyukur masih ada orang yang baik dan peduli padanya. Nisa pun
kembali ke rumah. Rumah yang ditinggali Nisa memang masih layak untuk ditempati.
Sebenarnya rumah ini adalah bagian dari dapur seorang sepupunya. Mereka
merelakan tempat dapurnya untuk dijadikan sebuah tempat tinggal bagi Nisa dan
Supri. Dulu Supri mempunyai rumah dan tanah, namun semua ia jual untuk
pengobatan istrinya.
Nisa kemudian berganti pakaian dan ke luar untuk ziarah ke
makam Ibunya. Sampai di sana, Nisa membersihkan rumput-rumput liar dari makam
Ibunya. Kuburan Ibunya memang sederhana. Tak ada maesan yang menandai kuburan
Ibunya hanya ditandai dengan teko air yang terbuat dari tanah liat. Nisa
memanjatkan doa, agar Ibunya diampuni dosanya, mendapat tempat yang paling
mulia di sisi Allah SWT. Air mata Nisa pun menetes, seusai berdoa, Nisa
menceritakan kesulitannya menjalani hidup dan tak lupa rasa kangen yang
menggebu kepada Ibunya.
Waktu sore, Supri gunakan untuk mencari belut di sawah.
Nantinya belut yang ia cari, akan ia jual kepada pengepul. Setiap 1 ekor belut
dihargai 1000 rupiah. Terkadang Supri mendapat 3 sampai 5 ekor. Hasil yang ia
peroleh akan ia tabung untuk kebutuhan anaknya sekolah. Seragam yang Nisa pakai
sudah lusuh dan mulai menguning. Itu pun juga dikasih tetangganya, tapi Nisa
tak pernah meminta kepada Supri untuk meminta seragam yang baru. Namun Supri
paham dengan kondisi Nisa sekarang ini. Ia sengaja mencari pekerjaan tambahan
untuk memberikan sebuah seragam baru suatu saat nanti.
Malam hari, Nisa mengerjakan tugas yang diberikan gurunya.
Nisa disuruh membuat sebuah puisi. Dalam kamarnya, Nisa merenung. Mencari
inspirasi untuk digoreskan ke dalam kertas. Nisa mengambil KTP Ibunya, melihat
untuk sejenak dan tersenyum lalu menyimpannya kembali. Kemudian Nisa mulai
memegang pensilnya dan mulai menarikan pensilnya di atas kertas. Tak butuh lama
untuk menyelesaikannya. Dalam waktu 10 menit, Nisa sudah menyelesaikannya. Lalu
dia tidur.
Suasana kelas menjadi ramai, karena guru yang mengajar belum
datang. Nisa membuka tasnya dan mengambil tugas puisi lalu membenarkan juga
menambahkan beberapa kata. Puisi yang ia buat ini, adalah ungkapan hatinya yang
ia ingin utarakan untuk Ibunya. Guru sudah datang dan Nisa dipilih pertama
untuk mengawali tugas membaca puisi. Nisa maju dengan membawa kertas.
“Ehemm.”
“Pahit getir sebuah
kehidupan.. Ku jalani dengan hati yang tegar
Selalu tersenyum dan tak pernah mengeluh
Di setiap perjalanan hidupku.. Aku merindukan kasih sayang seorang Ibu
Yang hanya ku rasakan semenjak aku masih dalam belaiannya
Kini… semua telah berubah
Kasih sayang yang ku inginkan kini berubah menjadi sebuah pengorbanan
Pengorbanan untuk terus hidup, berjuang, dan menatap masa depan
Bunda…
Tak akan pernah lelah ku berdoa untukmu…”
Nisa menutup kertas dan menempelkannya di dada sambil meneteskan air mata.
Selalu tersenyum dan tak pernah mengeluh
Di setiap perjalanan hidupku.. Aku merindukan kasih sayang seorang Ibu
Yang hanya ku rasakan semenjak aku masih dalam belaiannya
Kini… semua telah berubah
Kasih sayang yang ku inginkan kini berubah menjadi sebuah pengorbanan
Pengorbanan untuk terus hidup, berjuang, dan menatap masa depan
Bunda…
Tak akan pernah lelah ku berdoa untukmu…”
Nisa menutup kertas dan menempelkannya di dada sambil meneteskan air mata.
Sekarang hari Rabu 11 juli bertepatan dengan ulang tahun
Nisa. Ingin rasanya, ia rayakan ulang tahunnya bersama keluarganya. Namun hal
itu tak dirasakannya. Sejak pagi, Supri sudah ke luar entah ke mana. Bangun
tidur, Nisa langsung bergegas untuk pergi ke sekolah. Perasaan khawatir mulai
timbul. Biasanya, Supri tak pernah pergi sepagi ini dan tak pernah pergi tanpa
sepengetahuan Nisa. Dia menutup pintu dan mulai melangkahkan kakinya untuk
mencari ilmu.
Pulang sekolah, Nisa masih belum bertemu dengan Supri.
Kemudian, dia mencarinya keliling kampung. Nisa takut terjadi apa-apa dengan
Ayahnya. Lama mencari, Nisa tak menemukan Ayahnya. Dia kembali ke rumahnya.
Dalam rumahnya, dia menangis. Dia belum siap untuk kehilangan orangtuanya
kembali. Terdengar suara pintu yang membuka. Nisa bangun, Supri datang dengan
membawa sebuah barang. Nisa berlari dan memeluknya.
“Dari mana saja Yah..”
Supri mengusap air mata
anaknya. Kemudian memberikan sebuah benda yang di taruh dalam kresek. “Apa ini
yah?”
“Buka aja.” Nisa kemudian membuka bungkusan itu. Dan ternyata sebuah seragam sekolah lengkap dengan beberapa peralatan tulis. Nisa kemudian memeluk Ayahnya kembali. Dia menangis, karena ulang tahun kali ini adalah ulang tahun yang istimewa baginya. Meskipun tanpa seorang Ibu.
“Buka aja.” Nisa kemudian membuka bungkusan itu. Dan ternyata sebuah seragam sekolah lengkap dengan beberapa peralatan tulis. Nisa kemudian memeluk Ayahnya kembali. Dia menangis, karena ulang tahun kali ini adalah ulang tahun yang istimewa baginya. Meskipun tanpa seorang Ibu.
Komentar
Posting Komentar