Kalau lagi galau, baca nih, cerpen tanpa judul :D
Tanpa judul
Desir angin yang lembut menenangkan jiwa, percikan air
hujan yang menciptakan irama yang merdu, diikuti lantunan adzan yang
menyejukkan kalbu, membuat perempuan paru baya itu enggan beranjak dari tempat
duduknya, ia memandangi halaman yang luas, raut wajahnya mengambarkan
kesedihan, batinnya menjerit, ia merindukan anak semata wayangnya yang merantau
ke luar kota sejak 5 tahun yang lalu. Lamunannya buyar setelah disadarkan oleh
seorang laki-laki tua yang usianya beranjak 70 tahun, tak lain dan tak bukan
adalah suaminya.
“Ibu
lagi apa di sini? Ayo salat, ini sudah magrib!”“Ibu kangen Hari pak, bagaimana kabarnya di sana?”
“kenapa dia tidak pulang? apa di sana hidupnya sudah enak?”
“sudah 5 tahun kita tidak pernah mendengar kabarnya, apa dia sudah melupakan kita pak?”
Air matanya jatuh bercucuran membasahi wajah yang sudah keriput dimakan usia.
“Bapak juga merindukannya bu, sebentar lagi lebaran idul adha, Hari pasti pulang.”
“Hari tidak pernah melupakan kita, ke mana dia akan berlabuh kalau bukan sama kita.”
“percayalah bu, putra kita pasti kembali.”
Bapak tua itu pun menenangkan istrinya yang sedari tadi
risau akan kondisi putranya, sepasang suami istri yang sudah renta itu pun
menuju ruang keluarga untuk melaksanakan rukun islam yang kedua. Jam sudah
menunjukkan pukul 10:00 tapi matahari tak jua menampakkan sinarnya, hempasan
angin yang seakan menumbangkan tubuh rentanya tak menyurutkan niatnya untuk
mencari sesuap nasi, nampaknya alam tak bersahabat kepada mereka, hanya kicauan
burunglah yang menemani langkah mereka menelusuri hutan yang terletak tidak
jauh dari rumahnya, di sanalah tempat mereka menggantungkan hidupnya.
“sepertinya
hujan akan turun, kita pulang saja pak, ini juga sudah lumayan.”“Ibu pulang saja duluan, masih ada kayu sisa kemarin yang belum Bapak simpulkan, nanti kalau basah harganya pasti turun bu.”
“ya sudah, saya pulang duluan pak.” dengan badan yang mulai membungkuk ia melangkahkan kakinya menuju sebuah rumah untuk menukarkan kayu bakarnya dengan beras yang bisa dibilang tidak layak konsumsi, akan tetapi ia tidak pernah mengeluh akan hidup yang dijalaninya, ia selalu bersyukur atas apa yang didapatkannya.
Sesampai di rumah ia langsung menyiapkan makan siang
untuk mereka berdua, cukup lama ia menunggu suaminya akhirnya ia memutuskan
untuk istirahat sejenak, ia terbangun dari tidurnya saat mendengar langkah kaki
yang bergemuruh dari arah luar rumahnya, segera ia membuka pintu memastikan apa
yang terjadi di luaran sana, tubuh perempuan paru baya itu bergetar hebat
menyaksikan pemandangan yang tidak pernah dibayangkannya, tanpa disadari tubuh
rentanya tergeletak di tanah, ia menangis sejadi-jadinya saat mendapati tubuh
suaminya yang terbujur kaku tak bernyawa dibopong oleh para tetangga, suaminya
tertimpa pohon besar membuat nyawanya hilang seketika.
“maafkan
Ibu, maafkan Ibu meninggalkanmu di hutan sendirian, maafkan Ibu, pak.”
Hanya kata maaf yang terucap dari bibirnya tapi kali ini
air mata tak lagi membasahi wajahnya, bukannya ia tidak sedih akan kepergian
suaminya tapi ia tahu betul, hidup dan mati seseorang sudah diatur oleh Sang
Maha Kuasa, ia menyayangi suaminya tapi rupanya Allah lebih menyayanginya dan
dia sadar akan hal itu. Ia mengatur napasnya, berusaha mengendalikan emosinya,
berserah diri kepada-Nya, mencoba tegar menghadapi semuanya, ia yakin hanya
emaslah yang diuji sesering ini.
Waktu berlalu begitu cepat, tidak terasa sudah satu bulan
ia hidup seorang diri, semakin hari kesehatannya semakin menurun akan tetapi
anaknya tak kunjung menemuinya, Hari-harinya ia habiskan untuk menunggu
kedatangan putranya. Hari ini adalah hari yang paling ia nantikan. Hari idul
adha di mana ia percaya putranya akan kembali, dengan perasaan bahagia yang
menyelimutinya ia melangkahkan kakinya ke mesjid yang bersebelahan dengan
rumahnya, rakaat pertama dilaluinya dengan khusyuk, tiba-tiba geraknya
terhenti, Ibu menghembuskan napas terakhirnya.
Dibawalah jasad perempuan tua itu untuk disemayamkan di
rumahnya, dari kejauhan nampak pemuda yang gagah perkasa turun dari mobil sedan
dengan raut wajah datar tanpa ekspresi, insting seorang Ibu tidak pernah salah,
putranya kembali setelah 5 tahun meninggalkannya dan benar saja putranya sudah
sukses di perantauan sana. Memang betul doa orangtua selalu diijabah buktinya
banyak perubahan yang terjadi pada dirinya yang dulunya adalah seorang
berandalan kini ia tumbuh menjadi pria yang baik hati nan elok perilakunya.
Langkah kaki pemuda itu terhenti tepat di bawah sehelai
kain putih, bertanda ada seseorang yang meninggal, tanpa pikir panjang ia
mempercepat langkahnya memasuki rumahnya, langkah kakinya lagi-lagi terhenti
melihat jasad yang dibungkus kain putih yang dikelilingi sekumpulan orang yang
melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Jantungnya berdetak kencang, wajahnya
pucat, badanya lemas seketika, aliran darahnya seakan terhenti saat menyaksikan
pemandangan di depan matanya. Air matanya tumpah membasahi wajah tampannya,
pelan tapi pasti ia melangkahkan kakinya menuju apa yang sedang diamati oleh
indera penglihatannya.
“bangun
bu, kenapa secepat ini meninggalkanku.”“maafkan aku bu, maafkan aku tidak pernah mengabari kalian.”
“aku sudah kembali aku sudah menjadi seperti apa yang Ibu dan Bapak inginkan.”
“bangun bu, bangun, ini aku anak Ibu, aku Hari bu, aku sudah pulang.” didekaplah jasad Ibunya dengan air mata yang tak henti-hentinya menetes.
Dengan mata yang sembab ia mengamati sekeliling, cukup
lama ia mengamati orang-orang yang ada di sekitarnya tapi ia tak menemukan
sosok Bapaknya, ia pun menanyakan keberadaan Bapaknya. Raut mukanya menampakkan
kehancuran, air matanya kembali tumpah, tubuh yang sudah lemas jatuh tak
berdaya saat mengetahui Bapaknya sudah meninggal sebulan yang lalu, dipeluklah
foto orangtuanya dengan penuh penyesalan. Dengan perasaan sedih yang amat dalam
ia mengantarkan jasad Ibunya ke peristirahatan terakhirnya. Tepat berdampingan
dengan makam Bapaknya. Satu persatu pelayat meninggalkan pemakaman, tinggallah
Hari seorang diri, datanglah seorang gadis yang memberikan selembar kertas
putih bergoreskan tinta hitam yang didapatkannya saat membersihkan rumah
almarhum.
“Untuk
putra semata wayangku, Bambang Hariyanto.”“Suatu saat kamu kembali, kembali dengan kemewahan. Percayalah nak bukan itu yang Ibu inginkan, Ibu tidak pernah menunggu rupiah darimu. Keinginan Ibu cukup sederhana, cukup kamu ada di sisi Ibu, menemani masa tua Ibu. Bersamamu di saat terakhir Ibu adalah keinginan terbesar Ibu, Ibu merindukanmu nak. Kelak jika kamu kembali dan hanya mendapati pusara Ibu, berjanjilah nak untuk tidak membanjiri pusara Ibu dengan air mata tapi banjirilah dengan doa. Kelak jika Ibu sudah tiada jangan kau hiasi pusara Ibu dengan puluhan kembang elok tapi hiasilah dengan doa. Putraku, jadilah manusia layaknya manusia yang dicintai Allah, ingatlah nak kehidupan dunia hanyalah sementara di akhiratlah tempat kita akan abadi.
Dari Ibu yang mencintaimu.”
Air matanya tumpah seketika, ia mendekap selembar kertas
yang ditulis oleh Ibunya, ia memeluk batu nisan orangtuanya secara bergantian,
kata maaf dan penyesalan berulang kali dilontarkannya tapi apalah daya nasi
sudah menjadi bubur. Hujan yang semakin deras membuat luka di hatinya semakin
perih, petir yang seakan menyambarnya tidak ia hiraukan, ia masih bersimpuh
penuh penyesalan di hadapan pusara orangtuanya.
Cerpen Karangan:
Hastuti Mahmud
Komentar
Posting Komentar